Bel sekolah berbunyi. Erwan bergegas berkemas
dan berlari menemui ibunya. Ibunya sebagai guru kelas tiga SD N Nusa Indah,
sekolah Erwan, belum selesai mengadakan rapat dengan kepala sekolah yang
dijadwalkan akan selesai jam dua, atau satu jam setelah bel sekolah tersebut
berbunyi. Erwan yang mempunyai kebiasaan makan, terlihat gelisah merasakan
perutnya yang keroncongan. Sesaat Erwan menengok ke ruang rapat. Ibu Fitri,
wali kelas erwan juga teman guru ibu Erwan berkata, “ Sebentar ya, Nak,”
terdengar dari ruang rapat. Semua bapak dan ibu guru di ruang itu tertawa
melihat tingkah Erwan.
Erwan yang telah menduduki kelas enam SD ini
seharusnya lebih dewasa dan telah memikirkan Ujian Akhir Sekolah Bersetandar
Nasional (UASBN), bukan hanya memikirkan makan untuk kebutuha perutnya. Sembari
menunggu ibunya, Erwan pun berajak ke kantin, berharap ada makanan yang
bisa menenangkan perutnya yang terus bernyanyi. Akan tetapi kantin yang biasa
dia gunakan untuk makan sudah tutup. Di sana hanya terlihat kucing peliharaan
ibu kantin berbaring di atas kursi di kantin itu. Erwan yang putus asa mencari
makan siangnya, duduk bersama kucing dan terus menggumam.
Sesaat kemudian ibu Erwan Datang, Mustainah
yang sudah keluar dari ruang rapat menghampiri Erwan dikantin dan membawakannya
satu buah roti dan air mineral. Begitu lahabnya dia memakan roti itu. Perut
keroncongan seorang ibu, sudah terbayar dengan senyum Erwan yang telah
menghabiskan satu buah roti itu. Mustaimah mengajaknya pulang.
“Angkoooooooooot,” teriak Mustainahbersama
putranya, Erwan yang sedang menunggu angkot di halte depan depan sekolah.
“Buk, Aku laper nih,” seru Erwan yang sedang
naik angkot bersama ibuknya. Suami ibu Mustainah, supriyono yang bekerja
sebagai wiraswasta hari ini tidak bisa menjemput mereka. Keluh manja Si Erwan
yang merasa laparpun diabaikan ibu Mustainah . Hanya satu jawaban ibu
Mustainah, “Yang sabar, Nak!” jawab ibu itu dengan penuh kesabaran!
Malam telah tiba. Pak Supriyono pun pulang
dari kantornya. Belum sempat duduk maupun minum the hangat, Erwan pun minta
dibelikan nasi goreng. Ibu Mustainah membentak suaminya agar segera membelikan
nasi goreng sesuai permintaan Erwan. Bentakan ibu Mustaina pun penuh dengan
cacian, sakit untuk didengar. Semua itu ia lakukan untuk membahagiakan Erwan
anak tunggalnya. Begitulah selalu kehidupan keluarga Erwan.
Suatu pagi Erwan pun menangis. Dia lupa
mengerjakan PR matematika untuk hari ini. Beribu-ribu alasan keluar dari mulut
anak manja itu, agar ia tidak berangkat sekolah.
“Ayo nak berangkat! Lupa tidak mengerjakan PR tidak apa-apa.
Asalkan berangkat nanti ibuk bilangkan ke ibu Fitri, wali kamu!” ucap ibu itu
penuh rayu agar anak tersebut berangkat sekolah.
Pak Supriyono pun ikut merayu Erwan. Rayu Pak
Supriyono yang sedikit maksud mendidik, menjadi kemarahan ibu Mustainah yang
sangat memanjakan anak itu. Pagi ini pun serasa ada kapal pecah dirumah tangga
ini.
Pagi itu terulang kembali. Erwan menangis dan
merintih kesakitan dengan alasan sakit perut. Kenyataannya, dia takut dengan
pendalaman materi matematika. “Anakku saying, Kamu berangkat sekolah yah!
Supaya peringkat sekolah kita tidak turun karena tidak ada nilai kamu.”
pinta ibu Mustainah. Demikian pula pak supriyono ikut membujuk. Terlihat waktu
yang semakin siang, Erwan tidak berangkat sekolah. Aksi mogok sekolah seperti
ini sudah sering dilakukan Erwan, namun orang tua Erwan belum pernah bersikap
tegas mapun kasar kepadanya.
Erwan sejak kanak-kanak memang sudah
dimanjakan orang tuanya. Apapun yang di Minta Erwan selalu terpenuhi,
tanpa mengenal waktu, tempat dan juga cuaca. Sejak kanak-kanak dia memang
sering tidak berangkat sekolah. Kakak ipar ibu Mustainah adalah seorang yang
ditakuti Erwan. Tanpa dengan menangis, bujukan kaka ipar bu Mustainah selalu
diterima Erwan. Namun kakak ipar bu Mustainah tidak ingin melampaui kuasa
sebagai orang tua Erwan.
Dan saat Erwan selalu bertingkah seperti itu,
selau tercurah keluh kesah tercurah dari hati kedua orang tuanya.
“Tuhan, kenapa anakku sering, mogol sekolah?
Kenapa rayuanku selalu tumbang dengan tangis anakku ?” bu mustainah menjatuhkan
air mata, turut pula pak Supriyono yang berada di samping ibu Mustainah.
“Kenapa hamba tidak bisa tegas sebagaiman orang tua pada mestinya?” Kesediha
itu selau menghantui keluarga ini.
Ulangan Akhir semester pertama telah tiba.
Erwan yang duduk di bangku kelas enam harus menjalani satu minggu dengan
ulangan itu. “Nak, calon dokter harus belajar,” sebagai motivasi bu
Mustainah,”Katanya mau seperti dokter Hendra?” sesaat Erwan tersenyum melihat kedua
orang tua yang mendampingi Erwan belajar.” “Besok juga harus bisa masuk SMA
satu kayak kakak sepupu kamu, si Iyan.”seru pak Supriyono. “Ayo pak dokter
belajar” Erwan tersenyum, “Dokternya baru lapar, beliin ayam goreng, Pak!” ayah
Erwan langsung berangkat memenuhi permintaan Erwan.
Hari yang paling ditakutkan pun datang.
Ulangan Matematika dan Agama di depan mata. Ibu Mustainah yang sedang
menyiapkan sarapan pagi, mendengar tangisan Erwan yang sedang bangun tidur.
“Buuuuuk…….,” teriak Erwan sambil menangis.
“Aku sakit.” Bu Mustainah menghampirinya
“Sakit apa, Nak?” melihat Erwan yang terus
memegani perutnya.
“Sinih ibuk kasih minyak biar ga sakit
perutee.” Sembari Erwan yang terus menangis, Pak Supriyono datang menghampiri.
“Buk, dianget-angetin perutee, nanti kan terus
sembuh! Nanti juga harus berangkat, ada ulangan semesteran.” Kata pak
Supriyono.
”Aku sakit, Pak. Gak bisa berangkat sekolah.”
seru manja anak ini.
Saat itu pun juga bu Mustainah menelepon bu,
Fitri. “Selamat pagi bu Mustainah?” seru bu Fitri mengawali pembicaraannya.
Telepon pun disambungkan ke Erwan yang sedang menangis. “Calon dokter harus
sekolah kalo cuma sakit perut,” rayu bu Fitri. “Harus ikut semesteran kalo
sudah kelas enam.”
“Dengarkan bu Fitri, Nak!” kata bu Mustainah. Namun
Erwan bertambah menangis dan menangis.Seperti tiada lagi yang ditakutinya.
Saat-saat yang mendebarkan pun tiba. Rapat
pertimbangan nilai pun digelar. “Bu Fitri? Nilai Erwan kenapa tidak tuntas ini?
Nilai merah, gimana dengan ujiannya nanti?” ujar ibu sumarsih selaku kepala
sekolah SD N Nusa Indah.”Maaf bu, saya tidak sampe hati.” terdiam. “Semua bapak
ibu guru tercekam seketika memperhatikan keduanya berbicara. Sementara itu mata
Mustainah di sudut pojok meja rapat berkaca-kaca memikirkan nilai matematika
anaknya, yang Erwan ikuti separuh waktu itu.
Erwan yang sedang mengikuti classmeeting
dipanggil ke ruang kepala sekolah.”Maaf bu kepala, untuk apa saya dipanggil ke
sini?” sumarsi tercengan, tak bisa angkat bicara. “Ada nilai kamu dibawah KKM,”
sahut Fitri. “Kamu kerjakan ulanga matematika, karena kamu belum tuntas. “
kepala sekolah itu berbicara juga.
Liburan kali ini bukanlah waktu Erwan untuk
membesarkan perutnya. Erwan terketuk, akan suatu perjuangan mendapatkan nilai.
Bagi Erwan panggilan kepala sekolah itu adalah celuti untuknya terus belajar
dan belajar. Tak sempatpu Erwan melirik televise saat belajar, dan dia tetap
focus. Dia punmengikuti les diberbagai guru privatnya. Dia juga selalu
mengerjakan latihan soal-soal dengan buku-buku yang disarankan gurunya.
“Adhek baru apa?” terlihat Iyan, kakak sepupu
Erwan yang tersenyum, datang dan menghampiri dari rumah sebelah. “Menentukan
perbandingan dan sekala pada peta, kak.” “Wah, sekarang Erwan sudah rajin
sekali ya!” kata Iyan yang duduk disebelah Erwan yang sedang belajar.
Memang usaha Erwan tak begitu saja. Dia selalu
ikut berdoa waktu dini hari. Selalu hidup prihatin dalam
setiap langkahnya. Anjuran agama selalu ia kedepankan.
Latihan ujian dan latihan ujian ia jalani. Ia
selalu dipandu sepupunya Iyan dan Andro. Bersama keluarga yang lain, mereka
mengamati belajar Erwan. “Kak Andro? Planet dalam tata surya ada berapa?” tanya
Erwan penuh semangat.”Coba dicari dibuku!” jawabnya lugas. “Sembilan ya, Kak?”
masih terus membaca buku di depannya. “Emmmmmmm, sekarang bukan Sembilan lagi,
dek. Karena planet Pluto sudah tidak dianggap planet lagi.” (memotong
pembicaraan) jawab kakak Iyan yang perhatian ini. “Kuk tidak dianggap sebagai
planet lagi kenapa?” tannya Erwan penuh penasaran. “Karena orbit Pluto menerobos
planet Neptunus,” jawab Andro kembali memotong pembicaraan.
Waktu memang tidak bisa diajak kompromi lagi.
Ujian Akhir tinggal dua minggu lagi. Dan tidak ada pilihan lagi kecuali
menghadapinya dengan penuh semangat dan serius.
Seketika malam, Erwan terbangun mendengar ibu
dan ayahnya berdoa untuk keberhasilan ujiannya. Selagi dinginya malam, hati
Erwan tersentuh.Dia mengambil air dan ikut berdoa dengan orang tuanya.
Kemantapan dan keyakinan meraih kesuksesan dalam ujian akhir telah iya
dapatkan.
Dalam menjalani ujian,Erwan sangat
bersemangat. Dia yakin persiapan-persiapan yang ia lakukan sudah cukup. Dia
meminta doa kepada orang tua, keluarga, bapak dan ibu guru, teman dahabat dan
yang lainnya agar lebih percaya diri dalam menyelesaikan ujian akhir.
Akhir penantiannya selam enam tahun di
pendidikan Sekolah Dasar Nusa Indah telah selesai. Pengalaman buruknya kini
menyadarkannya, memberinya gambaran hidup, dan membalikan opini-oponi orang di
sekitarnya. Dia menjadi siswa luslusan terbaik di kota dan diterima di SMP yang
dia inginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar